A. Pengertian Perkembangan Kognitif
Istilah
perkembangan merupakan konsep yang sangat rumit. Menurut Monks (dalam Mar’at,
2012), perkembangan menunjuk pada suatu suatu proses ke arah yang lebih
sempurna dan tidak dapat diulang kembali. Perkembangan menunjuk pada perubahan
yang bersifat tetap dan tidak dapat diputar kembali.
Sama halnya seperti aspek
perkembangan lainnya, kemampuan kognitif anak juga mengalami perkembangan tahap
demi tahap menuju kesempurnaanya (Desmita, 2014). Sementara
itu, kognisi dapat dipandang sebagai kemampuan yang mencakup segala bentuk
pengenalan, kesadaran, pengertian yang bersifat mental pada diri individu yang
digunakan dalam interaksinya antara kemampuan potensial dengan lingkungan
seperti: dalam aktivitas mengamati, menafsirkan memperkirakan, mengingat,
menilai dan lain-lain. Proses kognitif penting dalam membentuk pengertian
karena berhubungan dengan proses mental dari fungsi intelektual. Hubungan
kognisi dengan proses mental disebut sebagai aspek kognitif.
Secara
umum kognisi diartikan sebagai apa yang diketahui serta dipikirkan oleh
seseorang. Menurut Mar’at (2012) perkembangan kognitif adalah salah satu aspek
perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengertian (pengetahuan), yaitu
semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari
dan memikirkan lingkungannya.
Perkembangan
kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak
dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Pengalaman fisik dan
manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara
berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya
memuat pemikiran itu menjadi lebih logis.
Hal-hal
yang termasuk dalam aktivitas kognitif adalah mengingat dan berfikir. Mengingat
merupakan aktivitas kognitif dimana orang menyadari bahwa pengetahuan berasal
dari kesan-kesan yang diperoleh dari masa lampau. Bentuk mengingat yang penting
adalah reproduksi pengetahuan, misalnya ketika seorang anak diminta untuk menjelaskan
kembali suatu pengetahuan atau peritiwa yang telah diperolehnya selama belajar.
Sedangkan pada saat berfikir anak dihadapkan pada obyek-obyek yang diwakili
dengan kesadaran. Jadi tidak dengan langsung berhadapan dengan obyek secara
fisik seperti sedang mengamati sesuatu ketika ia melihat, meraba atau
mendengar.
Menurut Piaget, anak dilahirkan
dengan beberapa skemata sensorimotor, yang memberi kerangka bagi interaksi awal
anak dengan lingkungannya. Pengalaman awal si anak akan ditentukan oleh skemata
sensorimotor ini. Dengan kata lain, hanya kejadian yang dapat diasimilasikan ke
skemata itulah yang dapat di respons oleh si anak, dan karenanya kejadian itu
akan menentukan batasan pengalaman anak. Tetapi melalui pengalaman, skemata
awal ini dimodifikasi. Setiap pengalaman mengandung elemen unik yang harus diakomodasi
oleh struktur kognitif anak. Melalui interaksi dengan lingkungan, struktur
kognitif akan berubah, dan memungkinkan perkembangan pengalaman terus-menerus.
Tetapi menurut Piaget, ini adalah proses yang lambat, karena skemata baru itu
selalu berkembang dari skemata yang sudah ada sebelumnya. Dengan cara ini,
pertumbuhan intelektual yang dimulai dengan respons refleksif anak terhadap
lingkungan akan terus berkembang sampai ke titik di mana anak mampu memikirkan
kejadian potensial dan mampu secara mental mengeksplorasi kemungkinan akibatnya
(Ibda, 2015).
B. Perkembangan Intelektual
1. Struktur
Untuk
sampai pada pengertian struktur, diperlukan suatu pengertian yang erat
hubungannya dengan struktur yaitu pengertian operasi. Piaget berpendapat bahwa
ada hubungan fungsional antara tindakan fisik dan tindakan mental dan
perkembangan berfikir logis anak-anak. Tindakan (action) menuju pada perkembangan operasi dan operasi selanjutnya
menuju pada perkembangan struktur (Dahar, 2011). Operasi-operasi ini mempunyai
empat ciri, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Operasi merupakan tindakan yang
terinternalisasi. Ini berarti antara tindakan-tindakan
itu. Baik tindakan mental maupun tindakan fisik tidak terdapat pemisah-misah,
misalnya seorang anak mengumpulkan semua kelerang kuning dan merah, tindakannya
ialah merupakan baik tindakan mental maupun fisik. Secara fisik ia memindahkan
kelereng-kelereng itu, tetapi tindakannya itu dibimbing oleh hubungan “sama”
dan “berbeda” yang diciptakannya dalam pikirannya. Kedua, Operasi-operasi itu reversible.
Misalnya menambah dan mengurangi merupakan operasi yang sama yang dilakukan dengan arah yang berlawanan.
Sebagai contoh: 2 dapat ditambahkan dengan 1 untuk memperoleh 3, atau 1 dapat
dikurangi dari 3 untuk memperoleh 2. Ketiga,
tidak ada operasi yang berdiri sendiri. Suatu operasi selalu berhubungan dengan
struktur atau sekumpulan operasi. Misalnya operasi penambahan-pengurangan
berhubungan dengan operasi klasifikasi, pengurutan, dan konservasi bilangan.
Operasi itu asli saling membutuhkan. Jadi operasi itu adalah tindakan-tindakan
mental yang terinternalisasi, reversible,
tetap dan terintegrasi dengan struktur-struktur dan operasi-operasi lainnya. Selanjutnya yang terakhir struktur juga disebut skemata
merupakan organisasi mental yang tinggi, satu tingkat lebih tinggi dari
individu waktu ia berinteraksi dengan lingkungannya. Struktur yang terbentuk
lebih memudahkan individu itu menghadapi tuntutan-tuntutan yang makin meningkat
dari lingkungannya. Diperolehnya suatu struktur atau skemata berarti telah
terjadi suatu perubahan dalam perkembangan intelektual anak (Dahar, 2011).
2. Isi
Hal
yang dimaksud dengan isi ialah pola perilaku anak yang khas yang tercermin pada
respons yang diberikannya terhadap berbagai masalah atau situasi-situasi yang
dihadapinya. Antara tahun 1920 dan 1930 perhatian Piaget dalam penelitiannya
tertuju pada isi pikiran anak, misalnya perubahan dalam kemampuan penalaran
semenjak kecil sekali hingga agak besar, konsepsi anak tentang alam sekitarnya
yaitu pohon-pohon, matahari, bulan, dan konsepsi tentang beberapa peristiwa alam
(Dahar, 2011).
3. Fungsi
Fungsi
ialah cara yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan-kemajuan
intelektual. Menurut Piaget perkembangan intelektual didasarkan pada 2 fungsi
yaitu organisme dan adaptasi (Dahar, 2011). Fungsi organisme untuk
mensistematikkan proses fisik atau psikologi menjadi sistem yang teratur dan
berhubungan atau berstruktur, seperti halnya seorang bayi mempunyai struktur-struktur
perilaku untuk memfokuskan visual dan memegang benda secara terpisah. Pada
suatu saat dalam perkembangannya, bayi itu dapat mengorganisasi kedua struktur
perilaku ini menjadi struktur tingkat tinggi dengan memegang suatu benda sambil
melihat benda itu, dengan organisasi, struktur fisik dan psikologis
diintergrasi menjadi struktur tingkat tinggi. Piaget melihat perkembangan
intelektual sebagai proses membangun model realitas dalam diri dalam rangka
memperoleh informasi mengenai cara-cara membangun gambaran batin tentang dunia
luar, sebagian besar masa kecil kita dihabiskan untuk aktif mempelajari diri
kita sendiri dan dunia luar. Mungkin anda pernah memperhatikan, anak-anak yang
masih sangat belia pun sudah punya rasa ingin tahu yang besar tentang kemampuan
diri dan lingkungan sekitarnya (Dahar, 2011).
Fungsi
kedua yang melandasi perkembangan intelektual ialah adaptasi. Sebagai proses penyesuaian skema dalam merespon
lingkungan melalui proses yang tidak dipisahkan, yaitu: Asimilasi ialah penyatuan (pengintegrasian) informasi, persepsi,
konsep dan pengalaman baru ke dalam
yang sudah ada dalam benak seseorang (Sanjaya, 2010). Dalam proses asimilasi
seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk menghadapi
masalah yang dihadapinya dalam lingkungannya (Dahar, 2011). Akomodasi ialah individu
mengubah dirinya agar bersesuaian dengan apa yang diterima dari lingkungannya (Surya, 2003). Sebagai proses
penyesuaian atau penyusunan kembali skema ke dalam situasi yang baru (Riyanto,
2009).
Proses
penyerapan ini saling berkaitan, sebagai contoh ketika seorang anak belum
mengetahui/mengenal api, suatu hari anak merasa sakit karena terpercik api,
maka berdasarkan pengalamannya terbentuk struktur penyesuaian skema pada
struktur kognitif anak tentang “api” bahwa api adalah sesuatu yang membahayakan
oleh karena itu harus dihindari, ini dinamakan adaptasi. Dengan demikian, ketika ia melihat api, secara refleks ia
akan menghindar. Semakin anak dewasa, pengalaman anak tentang api bertambah
pula. Ketika anak melihat ibunya memasak memakai api, ketika anak melihat
bapaknya merokok menggunakan api, maka skema yang telah terbentuk
disempurnakan, bahwa api bukan harus dihindari tetapi dapat dimanfaatkan.
Proses penyesuaian skema tentang api yang dilakukan oleh anak itu dinamakan asimilasi. Semakin anak dewasa,
pengalaman itu semakin bertambah pula. Ketika anak melihat bahwa pabrik-pabrik
memerlukan api, setiap kenderaan memerlukan api, dan lain sebagainya, maka
terbentuklah skema baru tentang api. bahwa api bukan harus dihindari dan juga
bukan hanya sekedar dapat dimanfaatkan, akan tetapi api sangat dibutuhkan untuk
kehidupan manusia. Proses penyempurnaan skema itu dinamakan proses akomodasi (Sanjaya, 2010). Dalam
perkembangan kognitif, diperlukan kesetimbangan antara asimilasi dan akomodasi.
Proses itu sering disebut ekuilibrium, yaitu pengaturan diri mekanis yang perlu
untuk mengatur kesetimbangan proses asimilasi dan akomodasi (Suparno, 2012).
C. Tahap Perkembangan
Kognitif
Perkembangan
kognitif merupakan pertumbuhan berfikir logis dari masa bayi hingga dewasa,
menurut Piaget perkembangan yang berlangsung melalui empat tahap, yaitu:
1.
|
Tahap
sensori-motor
|
: 0 – 1,5 tahun
|
2.
|
Tahap
pra-operasional
|
: 1,5 – 6 tahun
|
3.
|
Tahap
operasional konkrit
|
: 6 – 12 tahun
|
4.
|
Tahap
operasional formal
|
: 12 tahun ke atas
|
Piaget
percaya, bahwa kita semua melalui keempat tahap tersebut, meskipun mungkin
setiap tahap dilalui dalam usia berbeda. Setiap tahap dimasuki ketika otak kita
sudah cukup matang untuk memungkinkan logika jenis baru atau operasi (Jarvis, 2011). Semua manusia
melalui setiap tingkat, tetapi dengan kecepatan yang berbeda, jadi mungkin saja
seorang anak yang berumur 6 tahun berada pada tingkat operasional konkrit,
sedangkan ada seorang anak yang berumur 8 tahun masih pada tingkat
pra-operasional dalam cara berfikir. Namun urutan perkembangan intelektual sama
untuk semua anak, struktur untuk tingkat sebelumnya terintegrasi dan termasuk
sebagai bagian dari tingkat-tingkat berikutnya (Dahar, 2011).
1. Tahap Sensorimotor
Sepanjang
tahap ini mulai dari lahir hingga berusia dua tahun, bayi belajar tentang diri
mereka sendiri dan dunia mereka melalui indera mereka yang sedang berkembang
dan melalui aktivitas motor. Aktivitas kognitif terpusat pada aspek alat indera
(sensori) dan gerak (motor), artinya dalam peringkat ini, anak hanya mampu
melakukan pengenalan lingkungan dengan melalui alat dirinya dan pergerakannya.
Keadaan ini merupakan dasar bagi perkembangan kognitif selanjutnya, aktivitas
sensori motor terbentuk melalui proses penyesuaian struktur fisik sebagai hasil
dari interaksi dengan lingkungan (Surya, 2003).
2. Tahap Pra-Operasional
Pada
tingkat ini, anak telah menunjukkan aktivitas kognitif dalam menghadapi
berbagai hal diluar dirinya. Aktivitas berfikirnya belum mempunyai sistem yang
teroganisasikan. Anak sudah dapat memahami realitas di lingkungan dengan
menggunakan tanda –tanda dan simbol. Cara berpikir anak pada peringkat ini
bersifat tidak sistematis, tidak konsisten, dan tidak logis. Hal ini ditandai dengan
ciri-ciri sebagai berikut.
a. Transductive reasoning, yaitu cara berfikir yang bukan
induktif atau deduktif tetapi tidak
logis.
b. Ketidakjelasan
hubungan sebab-akibat, yaitu anak mengenal hubungan sebab-akibat secara tidak
logis.
c. Animisme, yaitu menganggap bahwa semua benda
itu hidup seperti dirinya.
d. Artificialism, yaitu kepercayaan bahwa segala
sesuatu di lingkungan itu mempunyai
jiwa seperti manusia.
e. Perceptually bound, yaitu anak menilai sesuatu
berdasarkan apa yang dilihat atau didengar.
f. Mental experiment yaitu anak mencoba melakukan sesuatu
untuk menemukan jawaban dari
persoalan yang dihadapinya.
g. Centration, yaitu anak memusatkan perhatiannya
kepada sesuatu ciri yang paling menarik
dan mengabaikan ciri yang lainnya.
h. Egosentrisme,
yaitu anak melihat
dunia lingkungannya menurut
kehendak dirinya.
3.
Tahap Operasional Konkrit
Pada
tahap ini, anak sudah cukup matang untuk menggunakan pemikiran logika atau
operasi, tetapi hanya untuk objek fisik yang ada saat ini. Dalam tahap ini,
anak telah hilang kecenderungan terhadap animism
dan articialisme. Egosentrisnya
berkurang dan kemampuannya dalam tugas-tugas konservasi menjadi lebih baik.
Namun, tanpa objek fisik di hadapan mereka, anak-anak pada tahap operasional
konkrit masih mengalami kesulitan besar dalam menyelesaikan tugas-tugas logika
(Jarvis, 2011). Sebagai contoh anak-anak yang diberi tiga boneka dengan warna
rambut yang berlainan (edith, susan dan lily), tidak mengalami kesulitan untuk
mengidentifikasikan boneka yang berambut paling gelap. Namun ketika diberi
pertanyaan, “rambut edith lebih terang dari rambut susan. Rambut edith lebih
gelap daripada rambut lily. Rambut siapakah yang paling gelap?”, anak-anak pada
tahap operasional konkrit mengalami kesulitan karena mereka belum mampu
berpikir hanya dengan menggunakan lambang-lambang.
d. Tahap Operasional Formal
Pada
umur 12 tahun keatas, timbul periode operasi baru. Periode ini anak dapat
menggunakan operasi-operasi konkritnya untuk membentuk operasi yang lebih kompleks
(Jarvis, 2011). Kemajuan pada anak
selama periode ini ialah ia tidak perlu berpikir dengan pertolongan benda atau
peristiwa konkrit, ia mempunyai kemampuan untuk berpikir abstrak. Anak-anak
sudah mampu memahami bentuk argumen dan tidak dibingungkan oleh sisi argumen
dan karena itu disebut operasional formal.
D. Tingkatan Perkembangan
Intelektual
1. Kedewasaan
Perkembangan
sistem saraf sentral yaitu otak, koordinasi motorik dan manifestasi fisik
lainnya mempengaruhi perkembangan kognitif. Kedewasaan atau maturasi merupakan
faktor penting dalam perkembangan intelektual (Jarvis, 2011).
2. Penalaran Moral
Interaksi
dengan lingkungan fisik digunakan anak untuk mengabstrakkan berbagai sifat
fisik benda-benda. Bila seorang anak menjatuhkan sebuah benda dan menemukan
bahwa benda itu pecah atau bila ia menempatkan benda itu dalam air, kemudian ia
melihat bahwa benda itu terapung ia sudah terlibat dalam proses abstraksi
sederhana atau abstraksi empiris. Pengalaman ini disebut pengalaman fisik untuk
membedakannya dengan pengalaman logika-matematika, tetapi secara paradoks
pengalaman fisik ini selalu melibatkan asimilasi pada struktur-struktur
logika-matematika. Pengalaman fisk ini meningkatkan kecepatan perkembangan anak
sebab observasi benda-benda serta sifat-sifat benda itu menolong timbulnya
pikiran yang lebih kompleks (Jarvis, 2011).
3. Pengalaman Logika-Matematika
Pengalaman
yang dibangun oleh anak, yaitu ia membangun hubungan-hubungan antara
objek-objek. Sebagai contoh misalnya, anak yang sedang menghitung beberapa
kelereng yang dimilikinya dan ia menemukan “sepuluh” kelereng. Konsep “sepuluh”
bukannya sifat kelereng-kelereng itu, melainkan suatu kontruksi lain yang
serupa, yang disebut pengalaman logika-matematika (Jarvis, 2011).
4. Transmisi Sosial
Dalam
tansmisi sosial, pengetahuan itu datang dari orang lain, seperti pengaruh
bahasa, instruksi formal dan membaca, begitu pula interaksi dengan teman-teman
dan orang-orang dewasa termasuk faktor transmisi sosial dan memegang peranan
dalam perkembangan (Jarvis, 2011).
5. Pengaturan Sendiri
Pengaturan
sendiri atau ekuilibrasi adalah
kemampuan untuk mencapai kembali keseimbangan (equilibrium) selama periode ketidakseimbangan (disequlibrium). Ekuilibrasi merupakan suatu proses untuk mencapai
tingkat-tingkat berfungsi kognitif yang lebih tinggi melalui asimilasi dan akomodasi tingkat demi tingkat (Jarvis, 2011). Jika pengaturan sendiri sudah dimiliki anak, ia mampu menjelaskan
hal-hal yang dirasakan anak dari
lingkungannya, kondisi ini dinamakan equilibrium.
Namun ketika anak menghadapi situasi baru yang tidak bisa dijelaskan dengan
pengaturan diri yang sudah ada, anak mengalami sensasi disequlibrium yang tidak menyenangkan. Secara naluriah, kita
disarankan untuk memperoleh pemahaman tentang dunia dan menghindari disequlibrium (Jarvis, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Desmita. (2014). Psikologi
Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Dahar, Ratna Wilis. (2011). Theories Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Erlangga.
Fatimah, Ibda. (2015). Perkembangan
Kognitif: Teori Jean Piaget. Intelektualita,
3, 27-38.
Jarvis, Matt. (2011). Teori-Teori Psikologi. Bandung: Nusa Media.
Mar’at,
Samsunuwiyati. 2012. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosda
Karya.
Riyanto, Yatim. (2009). Paradigma Pembelajaran. Jakarta: Prenada
Media Group.
Sanjaya, Wina. (2010). Strategi Pembelajaran Berorietnasi Standar
Proses Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Surya, Mohd. (2003). Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung:
Yayasan Bhakti Winaya.
Suparno, Paul. (2012). Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget.
Yogyakarta: Penerbeit Kanisius.