Pembentukan Kelompok pada Anak


A.      Pembentukan Kelompok
1.      Definisi kelompok
a.       Mills (1967) menyatakan bahwa kelompok adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang bekerjasama untuk mencapai tujuan dan melakukan kerjasama yang berarti.
b.      Johnson and Johnson (1987), kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka yang menyadari adanya anggota, keberadaan orang lain, dan ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama.
c.       Mardikanto (1993) berpendapat bahwa kelompok adalah himpunan yang terdiri dari dua atau lebih individu yang memiliki ciri-ciri:
1)        Memiliki ikatan yang nyata
2)        Interaksi dan interrelasi antar anggota
3)        Memiliki struktur dan pembagian tugas yang jelas
4)        Memiliki kaidah atau norma yang disepakati bersama
5)        Memiliki keinginan dan tujuan bersama
       Dari definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kelompok adalah berkumpulnya sejumlah orang yang saling berkaitan satu sama lain dan memiliki tujuan yang sama.
2.      Alasan-alasan terbentuknya kelompok
       Simmel mengemukakan pendapatnya bahwa dasar terbentuknya suatu kelompok selain keluarga adalah kondisi geografis. Beberapa kriteria terbentuknya kelompok (Simmel, 1986) antara lain.
a.       Jenis kelamin dan usia
b.      Kepentingan ekonomi
c.       Kehidupan intelektual/ profesional
d.      Agama
       Berbagai kelompok terbentuk dalam kehidupan manusia merupakan wujud dari hakikat manusia  untuk bersosialisasi. Manusia adalah makhluk sosial, manusia berkelompok atau membentuk sebuah kelompok untuk hidup bersama dan berkumpul..
       Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelompok antara lain.
a.       Adanya interaksi antar orang-orang yang ada di dalam kumpulan atau suatu kerumunan.
b.      Ikatan emosional sebagai pernyataan kebersamaan.
c.       Tujuan atau kepentingan bersama yang ingin dicapai.
d.      Kepemimpinan yang dipatuhi dalam rangka mencapai tujuan atau kepentingan bersama.
B.     Teori Pembentukan Kelompok
       Thomas (2005) mengemukakan beberapa teori tentang  terbentuknya kelompok,  antara lain :
1.      Teori Kedekatan (Propinguity Theory)
       Merupakan teori dasar tentang terbentuknya kelompok. Teori ini menjelaskan bahwa kelompok terbentuk karena  adanya afiliasi (perkenalan) di antara orang-orang tertentu. Seseorang berhubungan dengan orang lain disebabkan karena adanya kedekatan ruang dan daerahnya.
2.       Teori Aktifitas Interaksi Sentimen (George. C Homans)
       Teori interaksi berdasarkan pada aktivitas, interaksi, dan sentiment (perasaan atau emosi) yang berhubungan secara langsung. Ketiganya dapat dijelakan sebagai berikut.
a.       Semakin banyak aktivitas seseorang dengan orang lain, maka semakin beraneka ragam interaksinya dan semakin kuat tumbuhnya sentiment mereka.
b.      Semakin banyak interaksi diantara orang-orang, maka semakin banyak kemungkinan aktivitas dan sentiment yang ditularkan pada orang lain.
c.       Semakin banyak aktivitas dan sentimen yang ditularkan pada orang lain dan semakin banyak sentiment orang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak kemungkinan ditularkannya aktivitas dan interaksi-interaksi tersebut.
3.      Teori Keseimbangan (Theodore Newcomb)
       Teori  keseimbangan ini bersifat agak menyeluruh (comprehensive). Dalam teori keseimbangan (a balance theory of group formation) tentang pembentukan kelompok yang dikembangkan oleh Theodore Newcomb menyatakan bahwa seseorang tertarik pada yang lain karena ada  kesamaan sikap di dalam menanggapi suatu tujuan.


4.      Teori Pertukaran
       Teori ini mempunyai kesamaan fungsi dengan teori motivasi dalam bekerja. Teori kedekatan, interaksi, keseimbangan, semuanya memainkan peranan di dalam teori ini. Secara praktis pembentukan kelompok bisa saja terjadi dengan alasan ekonomi, keamanan, atau alasan social. Para pekerja umumnya memiliki keinginan afiliasi kepada pihak lain.
5.      Teori Alasan Praktis (Practical Theory)
       Teori ini mengemukakan bahwa kelompok terbentuk karena cenderung memberikan kepuasan atas kebutuhan sosial yang mendasar dari orang  yang berkelompok. Kebutuhan sosial praktis tersebut dapat berupa alasan ekonomi, status sosial, keamanan, politis dan alasan sosial lainnya.
6.      Teori Kontrak Sosial/ Perjanjian Sosial
       Teori ini dikemukakan oleh Rousseau, Hobbes, dan Locke. Mereka menyatakan bahwa terbentuknya sebuah negara adalah karena adanya kesepakatan dari masyarakat atau individu dalam masyarakat untuk melakukan kesepakatan atau perjanjian. Mereka mendasarkan analisisnya pada anggapan dasar bahwa manusia adalah sumber dari kewenangan sebuah negara.
7.      Teori Hasrat Sosial
       Dalam teori ini mengemukakan bahwa manusia pada awalnya hidup terpisah kemudian hidup dalam pergaulan antar manusia yang disebabkan karena pada diri tiap individu terdapat hasrat sosial yang senantiasa mendorong untuk bergaul dengan sesamanya.
8.      Teori Tenaga yang Menggabungkan
       Pencetus teori ini adalah P.J. Bowman. Ia berpendapat bahwa  kelompok terbentuk karena manusia senantiasa hidup bersama dalam suatu pergaulan yang didorong oleh tenaga yang menggabungkan atau mengintegrasikan individu ke dalam suatu pergaulan.
9.      Teori Hubungan Pribadi
       W. C Scuthz (1925-2002) menyatakan bahwa manusia berkelompok untuk memenuhi kebutuhan dasar dalam hubungan antar pribadi, yakni.
a.       kebutuhan inklusi, yakni kebutuhan untuk terlibat dan tergabung dalam suatu kelompok.
b.      kebutuhan kontrol, yakni kebutuhan akan arahan, petunjuk, dan pedoaman berperilaku dalam kelompok.
c.       kebutuhan afeksi, yakni kebutuhan akan kasih sayang dan kelompok.
W. C Schutz membagi anggota kelompok dalam 2 tipe, yaitu.
a.       Tipe yang membutuhkan (wanted)
b.      Tipe memberi (exspressed)
10.  Teori Identitas Sosial
       Teori ini menyatakan bahwa kelompok terbentuk karena adanya sekumpulan orang-orang yang menyadari atau mengetahui adanya suatu identitas bersama.
11.  Teori Identitas Kelompok
       Menurut D. I Horowitz bahwa individu dapat berkelompok karena memiliki kesamaan identitas etnis atau suku bangsa.
12.  Teori Pembentukan Beralasan
       Alvin Zander (1917-1981) mengemukakan bahwa ada sejumlah alasan dalam pembentukan kelompok, antara lain.
a.       Deliberate formation
Kelompok dibentuk berdasarkan pertimbangan tertentu, seperti mendukung pencapaian tujuan.
b.      Spontaneous formation
Kelompok ini dibentuk secara spontan tanpa ada perencanaan terlebih dahulu.
c.       External designation
Pembentukan kelompok didasrkan pada hal-hal tertentu yang dapat digunakan sebagai patokan.

C.     Pertumbuhan dan perkembangan Kelompok
1.      Pertumbuhan Kelompok
a.       Tahap-tahap pertumbuhan kelompok
1)      Tahap Pembentukan Rasa Kekelompokan
       Pada tahap ini setiap individu dalam kelompok melakukan berbagai penjajagan terhadap anggota lainnya mengenai hubungan antar pribadi yang dikehendaki kelompok dan sekaligus mencoba berperilaku tertentu untuk mendapatkan reaksi dari anggota lainnya.
       Bersamaan dengan tampilnya perilaku individu yang berbeda tersebut secara perlahan, anggota kelompok mulai menciptakan pola hubungan antar sesama mereka. Pada tahap pertama inilah mulai diletakkan pola dasar perilaku kelompok, baik yang berkaitan dengan tugaskelompok, atau yang berkaitan dengan hubungan antar pribadi anggotanya, bahkan mungkin dengan kelompok pesaing dalam berusaha.
       Dalam kaitannya dengan tugas kelompok, tujuan kelompok belum jelas satu sama lain. Semua anggota mulai meraba dan menjajagi situasi kelompok. Hubungan antar kelompok diliputi oleh perasaan malu, ragu, dengan sopan santun yang bersifat basa basi. Suasana hubungan satu dengan lainnya masih terlihat kaku, namun pada umumnya setiap individu senang memperlihatkan sifat egonya, dengan menceritakan berbagai keunggulan dirinya secara lengkap dan berkepanjangan. Produk akhir dari fase forming ini diharapkan terbentuknya rasa kekelompokan diantara anggotanya.
2)      Tahap Pancaroba
        Tujuan kelompok dalam tahap ini mulai tampak, partisipasi anggota meningkat. Sadar atau tidak sadar, pada tahap ini anggota kelompok mulai mendeteksi kekuatan dan kelemahan masing-masing anggota kelompok melalui proses interaksi yang intensif, ditandai dengan mulai terjadinya konflik satu sama lain, karena setiap anggota mulai semakin menonjolkan egonya masing-masing. Salah satu ciri penting dari fase ini adalah adanya pengaruh antar anggota yang dilakukan dengan berbagai cara.
3)      Tahap Pembentukan Norma
       Dalam fase ini banyak konflik yang akan terjadi, namun anggota kelompok mulai melihat karakteristik kepribadian masing-masing secara lebih mendalam, sehingga lebih memahami mengapa terjadi perbedaan dan konflik, bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang tertentu, bagaimana cara membantu orang lain dan bagaimana cara memperlakukan orang lain dalam kelompok. Dengan adanya pemahaman demikian, ikatan (cohesi) dan rasa percaya (trust) serta kepuasan hubungan dan konsensus diantara anggota kelompok dalam pengambilan keputusan meningkat, anggota mulai merasakan perlunya kesatuan pendapat mengenai perilaku yang boleh dan yang tidak boleh ditampilkan dalam pergaulan kelompok atau norma kelompok, agar kelompok bisa bekerja secara efektif dan efesien dalam memecahkan masalah yang dihadapi bersama.
       Kondisi akhir dari tahap pembentukan norma ini adalah terciptanya suasana penuh keharmonisan dalam kelompok, sehingga hubungan antar pribadi yang semula penuh dengan keraguan dan konflik satu sama lain, telah berubah menjadi sarana untuk pemecahan masalah dan penyelesaian pekerjaan kelompok. Selain itu sudah jelas peran apa yang harus dimainkan oleh setiap anggota dalam penyelesaian pekerjaan kelompok sesuai dengan kemampuan yang bisa ia berikan kepada kelompok.
4)      Tahap Berprestasi
       Kelompok sudah dibekali dengan suasana hubungan kerja yang harmonis antara anggota yang satu dengan yang lainnya, norma kelompok telah disepakati, tujuan, dan tugas kelompok serta peran setiap anggota sudah jelas, ada keterbukaan dalam komunikasi dan keluwesan dalam berinteraksi satu sama lain, perbedaan pendapat ditolerir yang mengakibatkan inovasi berkembang.
2.      Perkembangan kelompok
       Indikator yang dijadikan pedoman untuk mengukur tingkat perkembangan kelompok adalah sebagai berikut.
a.       Proses adaptasi berjalan dengan baik jika:
1)      Setiap individu terbuka untuk memberi dan menerima informasi yang baru.
2)      Setiap kelompok selalu terbuka untuk menerima peran baru sesuai dengan dinamika kelompok tersebut.
3)      Setiap anggota memiliki kelenturan untuk menerima ide, pandangan, norma, dan kepercayaan anggota lain tanpa merasa intergeritasnya terganggu.
b.      Pencapaian tujuan dalam hal ini adalah setiap anggota mampu untuk:
1)      Menunda kepuasan dan melepaskan ikatan dalam rangka mencapai tujuan bersama.
2)      Membina dan memperluas pola.
3)      Terlibat secara emosianal untuk mengungkapkan pengalaman, pengetahuan, dan kemampuannya.
       Selain hal tersebut di atas, perkembangan kelompok dapat ditunjang oleh bagaimana komunikasi yang terjadi dalam kelompok. Dengan demikian perkembangan kelompok dapat dibagi menjadi tiga tahap, antara lain sebagai berikut.
1.      Tahap pra kelompok merupakan tahap permulaan, diawali dengan adanya perkenalan semua individu akan saling mengenal satu sama lain. Kemudian hubungan berkembang menjadi kelompok yang sangat akrab dengan saling mengenal sifat dan nilai setiap anggota.
2.      Tahap fungsional ditandai  dengan adanya perasaan senang antara satu dengan yang lain, tercipta homogenitas, kecocokan, dan kekompakan dalam kelompok. Pada akhirnya akan terjadi pembagian dalam menjalankan fungsi kelompok.
3.      Tahap disolusi tahap ini terjadi apabila keanggotaan kelompok sudah mempunyai rasa tidak membutuhkan lagi dalam kelompok. Tidak ada kekompakan maupun keharmonisan yang akhirnya diikuti dengan pembubaran kelompok.

D.    Pembentukan Kelompok pada Anak
Aneka ragam pengelompokkan dalam pergaulan anak menurut (Bleckmann, 1987) diantaranya sebagai berikut.
1.      Kelompok yang terbentuk secara sukarela, dalam hal ini ialah pengelompokan yang dibentuk oleh anak sendiri.
Contoh: kelompok bermain
2.      Kelompok yang terbentuk akibat dari dorongan guru, dalam hal ini guru membentuk kelompok berdasarkan persyaratan yang diajukan. Dalam keadaan ini anak akan berjumpa dengan anak lain yang mungkin belum pernah dikenal atau hanya jarang bertemu.
Contoh: Guru mengemukakan persyaratan, “ Semua yang belum makan pagi, makanlah sekarang!”
3.      Kelompok yang terbentuk dengan adanya minat yang sama. Anak yang menaruh minat sama tidak hanya yang “besar” atau yang “kecil”.
Contoh: kelompok anak gemar bernyanyi

4.      Kelompok yang terbentuk akibat mempunyai kemampuan yang sama.
Contoh: kelompok yang mengenal suatu nyanyian dan tanpa melakukan persiapan mereka dapat menyanyikannya.
5.      Kelompok belajar
a.       Kelompok Praktisi Reflektif (Kelompok PR)
Kelompok yang terlibat dalam sebuah diskusi terstruktur tentang praktik belajar mengajar yang mengikuti format spesifik berupa perintah dan juga terfasilitasi.
Alasan terbentuknya kelompok PR antara lain.
1)      Mengambil keuntungan dari rasa kebersamaan.
2)      Para profesional yang saling membantu akan lebih mudah mengubah teori pendidikan yang menjadi tujuan belajar yang sebenarnya.
3)      Kunci peningkatan sekolah adalah pengembangan komunitas-komunitas belajar yang tulus
4)      Terdapat sejumlah keterampilan dan pengetahuan besar di sekolah, tetapi sering kali tidak tersentuh. Praktik Reflektif menyediakan cara efektif dan menstimulasi yang menyentuh ke dalam dan akan membagi pengetahuan itu.
Peran fasilitator dalam kelompok PR, yaitu:
1)      Merencanakan kerja kelompok untuk mempertahankan fokus terhadap peningkatan tujuan pembelajaran.
2)      Menggunkan macam-macam strategi untuk menciptakan kolaborasi, refleksi, dan kreativitas.
3)      Jika perlu, berurusan secara efektif dengan konflik dan ketidaksetujuan yang muncul dari:
a)      Harapan berbeda dari siswa
b)      Kepercayaan yang kontradiktif tentang pengajaran yang sukses
c)      Menentang norma dan tradisi sekolah.
4)      Berindak sebagai penjaga waktu dan perekam.
Keguanaan protokol dalam kelompok PR, antara lain.
1)      Menyediakan arena untuk membangun keterampilan dan budaya kelompok dan lebih penting lagi, kepercayaan yang dibutuhkan untuk pekerjaan kolaboratif efektif
2)      Menawarkan dukungan kolega tanpa kritik.
3)      Membuat aman untuk saling menanyakan pertanyaan-pertanyaan menantang
4)      Memberikan cara-cara efektif untuk memanfaatkan waktu yang terbatas.
5)      Membangun tempat untuk mendengarkan dan sering kali memberikan orang-orang izin untuk mendengarkan tanpa terus menerus harus merespon.
6)      Meyakinkan bahwa ada keadilan dan kesamaan dalam istilah tentang bagaimana membicarakan masalah setiap orang.
7)      Membuat tradisi dan norma yang ada dapat ditantang secra membangun.

b.      Cooperative Learning
       Kata cooperative mempunyai arti mengerjakan sesuatu bersama-sama, saling membantu antara satu dengan yang lain, dan memastikan bahwa setiap orang dalam kelompok mampu mencapai tujuan atau menyelesaikan tugas yang telah ditentukan. Cooperative learning lebih menekankan pada kepentingan bersama sehingga siswa yang pintar bisa berbagi dengan temannya yang tergolong biasa saja, demikian pula sebaliknya.
       Sistem pengajaran cooperative learning dapat didefinisikan sebagai sistem kelompok belajar yang terstruktur. Dalam hal ini terdapat unsur pokok yang termasuk dalam kelompok belajar terstruktur, yaitu:
1)      Adanya saling ketergantungan positif
2)      Tanggung jawab individual
3)      Interaksi personal/ tatap muka
4)      Komunikasi antar anggota
5)      Evaluasi proses kelompok.

c.       Collaborative Learning
       Pembelajaran kolaboratif didefinisikan sebagai falsafah mengenal tanggung jawab pribadi dan sikap menghormati sesama. Dalam hal ini, para siswa bertanggung jawab atas pencapaian belajar masing-masing dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan yang dihadapkan kepada mereka.
       Collaborative Learning merupakan bentuk belajar bersama sejumlah siswa yang secara objektif berbeda satu sama lain, baik dari sisi kemampuan, kepentingan, ciri-ciri individual, maupun karakter mereka secara umum. Pembelajaran ini lebih menekankan pada konsep sinergi antar siswa dengan memanfaatkan perbedaan di antara mereka.



DAFTAR PUSTAKA

Asmani, Jamal Ma’mur. 2016. Tips Efektif Cooperative Learning. Yogyakarta: Diva Press.
Bleckmann, Ruth. 1987. Pergaulan di Taman Kanak-Kanak. Bandung: Remadja Karya CV.
Hook, Peter dkk. 2010. Strategi Membimbing dan Mengarahkan. Jakarta: Erlangga.
Lubis, Namora Lumongga dkk. 2016. Konseling kelompok. Jakarta: Kencana.
Sudjarwo. 2015. Proses Sosial dan Interaksi Sosial dalam Pendidikan. Bandung: CV Mandar Maju.

Post a Comment

Previous Post Next Post