Pendahuluan
Dunia anak penuh dengan dorongan dan
minat terhadap sesuatu. Banyak
sedikitnya dorongan dan minat seorang anak itu
mendasari pengalaman emosionalnya. Apabila dorongan, keinginan, atau minatnya dapat dipenuhi, anak cenderung memiliki perkembangan afektif
atau emosi yang sehat dan stabil. Dengan demikian, ia dapat menikmati dan
mengembangkan kehidupan sosialnya secara sehat pula. Selain itu, ia tidak akan
terhambat oleh gejala gangguan emosi. Dorongan keinginan yang tidak dapat
dipenuhi dengan alasan kemampuan ataupun lingkungan yang
tidak mendukung akan besar kemungkinan menyebabkan perkembangan emosionalnya
mengalami gangguan (Fatimah, 2006).
Setiap anak memiliki emosi yang
berbeda-beda dan biasanya hal itu tergantung dari suasana hatinya dan kadang juga dipengaruhi dari situasi di lingkungannya. Perasaan emosi anak ada yang negatif ada pula yang positif. Perasaan
marah dan takut merupakan emosi negatif pada anak, sedangkan
perasaan senang atau gembira merupakan emosi positif pada anak.
Oleh karena itu, untuk memahami anak-anak kita perlu mengetahui apa yang ia lakukan, inginkan, dan dipikirkan, serta apa yang mereka rasakan. Gejala-gejala emosional seperti kecewa dan bangga, marah dan senang, malu dan berani, cinta dan
benci, harapan-harapan dan rasa putus asa, perlu
dicermati dan dipahami dengan baik oleh orang tua dan guru.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Emosi
Menurut
Goleman (2009) “akar kata emosi adalah emovere, kata kerja bahasa
latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-“ untuk memberi
arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan
hal mutlak dalam emosi”. Melanjutkan Goleman (2009) “emosi merujuk pada suatu perasaan
dan pikiran-pikiran khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak.”
Emosi sebagai setiap kegiatan atau
pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental
yang hebat dan meluap-luap. Merujuk kepada suatu perasaan dan pikiran-pikiran
yang khas, suatu kedaan biologis dan psikologis, dan serangkaian kecendrungan
untuk bertindak. Sementara itu, Chaplin (1989) dalam Dictionary of Psychology
mendefinisikan emosi sebagai suatu keadaan yang terangsang oleh organisme mencakup
perubahan-perubahan yang disadari, yang
mendalam sifatnya dari perubahan prilaku emosi dengan
perasaan, dan dia mendefenisikan perasaan (feelings) adalah pengalaman yang
disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang eksternal maupun bermacam-macam
keadaan jasmaniah. Definisi lain menyatakan bahwa emosi adalah suatu respons terhadap suatu
perangsang yang meyebabkan perubahan fisiologis disertai perasaan yang kuat dan
biassanya mengandung kemungkinan untuk meletus. Respon demikian terjadi baik
terhadap perasaan-perasaan
eksternal maupun internal. Dengan definisi ini
semakin jelas perbedaan antar emosi dengan perasaan, bahkan disini tampak jelas
bahwa perasaan termasuk kedalam emosi atau menjadi bagian dari emosi (Ali, 2011).
Menurut
pemakalah bahwa emosi itu adalah suatu respon terhadap rangsangan yang diterima
oleh individu, atau pun pengalaman afektif yang disertai
penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan
berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
B.
Emosi Awal
Kanak-Kanak
Selama awal masa kanak-kanak, emosi masih sangat kuat. Saat-saat tersebut merupakan saat ketidakseimbangan, karena anak-anak “keluar dari fokus”, dalam arti
bahwa ia mudah terbawa ledakan-ledakan
emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Hal ini tampak mencolok pada
anak-anak usia 2,5 tahun-3,5 tahun
sampai 5,5-6,5 tahun. Meskipun pada umumnya hal
ini berlaku pada hampir seluruh masa kanak-kanak. Walaupun setiap emosi dapat “dipertinggi” dalam arti bahwa emosi itu
lebih sering timbul dan lebih kuat dari pada biasanya pada individu tertentu,
tetapi emosi yang meninggi pada masa awal anak-anak ditandai oleh ledakan
amarah yang kuat, kekuatan yang hebat dan iri hati yang tidak masuk akal.
Sehingga sebagian dari emosi yang kuat pada periode ini disebabkan
oleh kelemahan akibat lamanya bermain, tidak mau tidur siang dan makan terlalu
sedikit. Perkembangan emosi anak juga dipengaruhi tingkat stres ibu ketika
mengandung (Porto, 2016). Center on the
Social Emotional Foundations for Early Learning (CSEFEL) mendefinisikan
perkembangan sosial dan emosional awal sebagai "pengembangan kapasitas
anak sejak lahir hingga usia lima tahun untuk terbentuk hubungan orang dewasa
dan teman sebaya yang dekat dan aman. Pengalaman,
mengatur, dan mengekspresikan emosi dengan cara yang sesuai secara sosial dan
budaya; dan jelajahi lingkungan dan mempelajari dari semua dalam konteks keluarga,
komunitas,dan budaya (Tamara,
2015).
Emosi yang tinggi kebanyakan disebabkan oleh
masalah psikologis dari pada masalah fisiologis. Penelittian menunjukkan bahwa
hubungan anak dan orang tua membentuk sistem khusus yang yang merupakan penentu
paling penting perkembangan mental dan proses sosialisasi (Zakhrova, 2016). Orang tua hanya memperbolehkan anak melakukan beberapa
hal, padahal anak merasa mampu melakukan lebih banyak lagi dan ia cenderung
menolak larangan orang tua. Disamping itu anak-anak menjadi
marah bila tidak dapat melakukan sesuatu yang dianggap dapat dilakukan dengan
mudah. Lebih penting lagi, anak-anak diharapkan
orang tuanya mencapai standar yang tidak masuk akal akan lebih mengenai
ketegangan emosional dari pada anak-anak yang
orang tuanya lebih realitis dalam menumpukan harapannya (Elizabeth, 1980). Menurut
Santrock (2012) di masa anak-anak pertengahan
dan akhir, mengembangkan pemahaman dan regulasi diri terhadap emosi.
C. Pola-Pola Emosi yang Umum pada
Anak-Anak
1.
Amarah
Penyebab amarah paling umum adalah
pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang
hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan ledakan amarah yang
ditandai dengan menangis, berteriak, menggertak, menendang, atau memukul.
2.
Takut
Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting
dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita,
gambar-gambar, acara radio, dan televisi, dan film-film dengan
unsur yang menakutkan. Pada mulanya reaksi anak terhadap rasa takut adalah
panik, kemudian menjadi lebih seperti lari, menghindar dan bersembunyi, kemudian
menangis.
3.
Cemburu
Anak menjadi cemburu bila ia mengira
bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain di dalam keluarga biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih mudah dapat
mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali
berperilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura-pura sakit, atau menjadi nakal. Semua hal
tersebut bertujuan untuk menarik perhatian.
4.
Ingin tahu
Anak mempunyai rasa ingin tau
terhadap hal-hal yang dilihatnya, juga terhadap
tubuhnya sendiri dan tubuh orang lain. Reaksi pertamanya adalah dalam bentuk
penjelajahan sensor motorik, kemudian
sebagai akibat dari tekanan sosisal dan hukuman, ia beraksi dengan bertanya.
5.
Iri hati
Anak-anak sering
iri hati mengenai kemampuan atau barang dimiliki oleh orang lain. Iri hati ini
diungkapkan dalam berbagai macam cara, yang paling umum adalah mengeluh
barangnya sendiri dengan meminta barang seperti milik orang lain, atau
mengambil barang-barang yang
menimbulkan iri hati.
6.
Gembira
Anak-anak merasa
gembira karena sehat, situasi yang tidak layak, bunyi yang tiba-tiba, atau yang tidak diharapkan, membohongi orang lain dan berhasil
melakukan tugas yang dianggapnya sulit. Anak mengungkapkan kegembiraanya dengan
tersenyum dan tertawa, bertepuk tangan, melompat-lompat, atau
memeluk benda atau memeluk orang yang membuatnya bahagia.
7.
Sedih
Anak-anak merasa
sedih karena kehilangan sesuatu yang dicintai atau sesuatu yang dianggap penting
baginya, apakah orang, binatang, atau benda
mati seperti mainan. Sacara khas anak mengungkapkan kesedihannya dengan
menangis dan kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya seperti makan.
8.
Kasih sayang
Anak-anak belajar
mencintai orang, binatang, atau benda
yang menyenangkannya, ia
mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar, tetapi ketika masih
kecil menyatakannya secara fisik dengan memeluk dan mencium objek kasih
sayangnya.
D.
Pola Emosi yang Umum pada Masa
Akhir Kanak-Kanak
Pola emosi yang umum pada akhir masa
kanak-kanak sebenarnya sama seperti pola emosi yang umum pada anak-anak.
Bagaimanapun juga pola emosional dari akhir masa kanak-kanak berbeda pada pola emosi masa awal kanak-kanak. Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh dua hal yaitu pertama, jenis
situasi yang membangkitkan emosi dan kedua, bentuk ungkapannya. Perubahan
tersebut lebih merupakan akibat dari lebih
meluasnya pengalaman belajar dari pada proses pematangan diri.
E.
Karakteristik
Perkembangan Emosi Anak
Masa anak-anak dianggap sebagai
periode awal dari kehidupan manusia sebelum memasuki masa remaja yang biasanya
orang menganggap sebagai badai dan tekanan, dimana suatu emosi mulai berkembang
sebelum menuju kepada emosi yang semakin
meninggi sesaat dimasa berikutnya. Maka dari itu, perkembangan emosi pada masa
kanak-kanak perlu diperhatikan karena emosi anak yang tidak diarahkan akan
mengakibatkan gangguan pada perkembangan motivasi jiwa anak kedepannya. Kurangnya
persiapan diri dalam menghadapi tekanan-tekanan emosi pada masa kanak-kanak
akan menyebabkan meningginya emosi pada masa remaja.
Pola emosi pada kanak-kanak tidak
jauh berbeda dengan pola emosi pada masa remaja seperti kita ketahui pada masa
kanak-kanak. Pola emosi yang umum terjadi adalah kasih sayang, bahagia, kecewa,
cemburu, takut, cemas, dan lain sebagainya.
Perbedaannya terletak pada macam-macam dan derajat rangsangan yang
membangkitkan emosi dan pola pengendalian yang dilakukan individu terhadap
emosinya.
F.
Cara Mengarahkan Emosi Anak
Emosi anak
sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar anak. Emosi anak dapat diarahkan
dengan cara sebagai berikut:
1.
Tetapkan
waktu bermain setiap hari dengan anak. Beri kesempatan pada anak untuk
menentukan apa yang ingin ia lakukan bersama Anda. Tempatkan anak pada posisi
pemimpin dan Anda pada posisi yang dipimpin.
2.
Luangkan
waktu untuk memecahkan masalah bersama anak. Ketika anak merasa sedih karena
tidak diajak bermain oleh temannya, bantu anak mencari penyebabnya, kemudian
cari bersama pemecahannya. Kegiatan semacam ini
membantu anak belajar berpikir logis dalam mengatasi masalah emosinya, dan
menumbuhkan kemampuannya untuk mengantisipasi, serta berkesempatan mengatasi
masalah emosinya sendiri.
3.
Melihat
masalah dari sudut pandang anak. Kalau kita sungguh-sungguh mendengarkan dan
berempati terhadap anak, kita dapat memahami alasan anak melakukan segala
sesuatu. Misalnya, saat anak mengamuk, Anda perlu mendengarkan alasan mengapa
ia melakukan hal itu. Saat Anda paham betul perasaan anak, Anda mungkin sekali
tidak akan ikut-ikutan marah.
4.
Minimalkan
masalah pada saat anak merasa jengkel karena gagal menyusun balok menjadi
bentuk gedung yang ia inginkan, misalnya, Anda dapat menunjukkan penyebab
kegagalannya.
5.
Berikan
batasan karena hal itu akan memberi bimbingan dan rasa aman kepada anak.
Menetapkan batasan dapat dikombinasi dengan waktu bermain bersama anak,
khususnya ketika anak menunjukkan perilaku buruk.
G.
Perubahan
Perkembangan Emosi Anak
Perubahan
perkembangan emosi anak menurut Santrock (2012) adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatnya
pemahaman emosi. Sebagai contoh, anak-anak di
sekolah memperlihatkan perkembangan kemampuan dalam memahami emosi-emosi kompleks seperti rasa bangga dan malu.
2.
Meningkatnya
pemahaman bahwa dalam sebuah situasi kita dapat mengalami lebih dari satu
emosi. Sebagai contoh, seorang siswa kelas tiga mungkin menyadari bahwa
memperoleh sesuatu dapat melibatkan kecemasan dan kesenangan.
3.
Meningkatnya
kecenderungan untuk lebih menyadari kejadian-kejadian
yang menyebabkan reaksi emosi. Sebagai contoh, seorang siswa kelas empat
mungkin menyadari bahwa kesedihannya hari ini dipengaruhi oleh kepindahan
kawannya keluar kota.
4.
Meningkatnya
kemampuan untuk menekan atau mengungkapkan reaksi-reaksi emosi
yang negatif. Sebagai contoh, seorang siswa
kelas lima telah belajar menurunkan
kemarahannya ketika salah satu kawan mengganggunya.
5.
Menggunanya
strategi inisiatif-diri untuk mengarahkan kembali perasaan-perasaan. Di sekolah
dasar, anak-anak menjadi lebih reflektif dan
menggunakan strategi dengan mengendalikan emosi. Mereka lebih mampu mengelola
emosinya dengan menggunakan strategi kognitif, seperti menerangkan diri sendiri
ketika sedang marah.
6.
Kapasitas
untuk berempati secara tulus. Sebagai contoh, seorang siswa kelas empat merasa
bersimpati terhadap orang yang sedang stress serta sangat memahami kesedihan
yang sedang dirasakan oleh orang tersebut.
Maka dari
itu perubahan dalam perkembangan emosi anak akan terus berubah melalui tahapan-tahapan
pematangan sikap emosional mereka kedepan.
H.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perkembangan Emosi
Menurut
hasil penelitian Zakharofa (2016), perkembangan emosi dipengaruhi hubungan anak
dan orang tua yang membentuk pola khusus, orang tua yang selalu mencemaskan
anakanya, menganggap anak kecil yang tidak berdaya akan berpengaruh pada
perkembangan pribadi dan emosional anak.
Secara umum perkembangan emosi dipengaruhi oleh kematangan dan belajar
anak. Kegemaran terhadap genre musik tertentu juga sangat berpengaruh terhadap
perkembangan emosi, pecinta musik rap/hip-hop memiliki tingkat kecemasan yang tinggi, tetapi
pada saat yang sama mereka menerima pengalaman mereka sendiri atau kepada yang
lain dan mereka dapat memodelkannya untuk mendukung pemahaman dan pribadi.
Remaja yang menyukai musik rock, mereka yang memiliki kecerdasan emosional
tingkat tinggi tampak menjadi komunikatif (secara langsung dan alami
mengekspresikan emosi dan pikiran mereka), spontan, kooperatif, mudah
beradaptasi percaya diri, berani, mau, kadang-kadang impulsif, tidak peka,
tidak mempersepsikan risiko (Nastasa, 2015).
Adapan
metode belajar menurut
Fatimah (2006) yang menunjang perkembangan emosi anak antara lain:
1.
Belajar
dengan coba-coba
Anak
belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dengan bentuk perilaku yang
memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan
2.
Belajar
dengan cara meniru
Dengan
cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, maka anak- anak akan mendapat
reaksi untuk mengikuti emosi itu.
3.
Belajar
dengan mempersamakan diri
Anak hanya
meniru emosi orang yang dianggap sama karakternya dengan dirinya.
4.
Belajar
melalui pengondisian
Dengan
metode ini,objek situasi yangmulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian
berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah dan cepat pada
tahun-tahun awal
kehidupan karena anak kecil kurang mampu menalar, mengenal betapa tidak
rasionalnya reaksi mereka.
5.
Belajar di
bawah bimbingan dan pengawasan
Anak
diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan
pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang
biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan di cegah agar tidak bereaksi
emosional terhadap rangsagan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan.
I.
Pengaruh Emosi Terhadap Tingkah Laku Anak
Emosi sangat
mempengaruhi tingkah laku anak. Akan terlihat sekali perbedaan anak yang sedang
mengalami emosi yang akan diwujudkan terhadap tingkah lakunya.
Pengaruh emosi terhadap
perilaku individu (Yusuf, 2004) di antaranya sebagai berikut:
1.
Memperkuat semangat,
apabila orang merasa senang atau puas atas hasil yang telah dicapai.
2.
Melemahkan
semangat, apabila timbul rasa kecewa karena kegagalan dan sebagai puncak dari
keadaan ini ialah timbulnya rasa putus asa (frustasi)
3.
Menghambat
atau mengganggu konsentrasi belajar, apabila sedang mengalami ketegangan emosi
dan bisa juga menimbulkan sikap gugup (nervous) dan gagap dalam berbicara.
4.
Terganggu
penyesuaian social, apabila terjadi rasa cemburu dan iri hati. Suasana
emosional yang diterima dan dialami individu semasa kecilnya akan mempengarui
sikapnya dikemudian hari, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang
lain.
SIMPULAN
Emosi
adalah suatu respon terhadap suatu rangsangan, ataupun pengalaman afektif yang
disertai penyesuaian dari dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik
dan berwujud suatu tingkah laku yang tampak.
Selama
awal masa kanak-kanak emosi masih sangat kuat. Saat tersebut merupakan
saat ketidakseimbangan, karena anak-anak mudah terbawa
ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan. Walaupun demikian,
ada beberapa cara untuk mengarahkan emosi anak, yaitu menetapkan waktu bermain
setiap hari dengan anak, luangkan waktu memecahkan masalah bersama anak,
melihat masalah dari sudut pandang anak, meminimalkan pada saat anak merasa
jengkel dengan cara menunjukan penyebab kegagalan, berikan batasan.
Pola-pola
emosi yang umum pada setiap anak adalah amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri
hati, gembira, sedih, kasih sayang. Perubahan dalam perkembangan emosi anak
adalah meningkatnya pemahaman emosi, meningkatnya kecenderungan untuk lebih
menyadari kejadian yang menyebabkan reaksi emosi, dan sebagainya. Secara umum
faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi anak adalah kematangan dan belajar
anak. Apa yang dihasilkan dari emosi itulah yang akan di wujudkan dalam tingkah
laku yang tampak dalam sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Ali Mohammad,
dkk. (2011). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara
Elizabeth B.
Hulock. (1980). Psikologi Perkebangan. Jakarta: Erlangga.
Fatimah Enung.(2006). Psikologi Perkembangan. Bandung: Pustaka Setia.
Goleman, Daniel. (2002). Kecerdasan Emosional.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Nastasa,
Laura-Elena and Emilia Ionescu. (2015). Favorite Musical Styles, Emotional
Intelligence and Adolescent’ Personality. Procedia
- Social and Behavioral Sciences 187 ( 2015 ) 83 – 87. doi:
10.1016/j.sbspro.2015.03.016
Porto
JA et al. (2016). Behavioral and neural correlates of emotional development:
typically developing infants and infants of depressed and/or anxious mothers. Sociedade Brasileira de Pediatria. Published
by Elsevier Editora. https://doi.org/10.1016/j.jped.2015.12.004
Santrock W. John . (2012). Perkembangan Masa Hidup.Jakarta: Erlangga.
Tamara,G.
Darling-Churchill. (2015). Review of measures of social and emotional
development. Journal of Applied
Developmental Psychology 45 (2016) 8–18. http://dx.doi.org/10.1016/j.appdev.2016.02.003
Yusuf,
Syamsu. (2004). Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Zakharova, Larisa М and Marina М. Silakova. (2016). The
child’s emotional development as basis for cooperation between kindergarten and
family. Procedia - Social and Behavioral Sciences 233 ( 2016 ) 318 – 321. doi:
10.1016/j.sbspro.2016.10.143