Konsep dan Filosofi Merdeka Belajar

 Dalam menghadapi tentang Era Education 4.0 dan Society 5.0, perlu penyesuaian pendidikan dengan perkembangan zaman salah satunya adalah dengan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan memiliki kemampuan untuk menyelesaikan permasalahan bangsa. Menanggapi problematika tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nadiem Anwar Makarim berencana merubah pola Pendidikan Indonesia melalui wacana kebijakan “Merdeka Belajar”. Melalui Riset bersama TIM, beliau mengungkapkan bahwa pendekatan manajerial tidak ideal untuk pendidikan seperti aspek reward and punishment, one-size-fits-all, dll karena “produk” dari pendidikan itu sendiri bukanlah suatu barang seperti aplikasi, program, dan lain sebagainya namun adalah manusia sehingga salah satu kunci utama untuk dapat menyentuh seorang manusia dalam proses pendidikannya adalah dari kultur sekolah/budaya

Nadiem Anwar Makarim mengatakan bahwa salah satu ciri utama dari sekolahsekolah yang terbaik adalah culture of learning dan culture of innovation-nya dimana sekolah-sekolah tersebut tak putus bereksperimen, bereksplorasi dan menggali cara-cara yang paling cocok dan sesuai bagi pembelajaran siswanya sehingga benar-benar dapat memfasilitasi beragam kebutuhan belajar dengan efektif.

Menurut Nadiem Anwar Makarim, ada dua elemen utama yang mendasari “Merdeka Belajar”, yang terinspirasi dari filosofi Ki Hajar Dewantara bersama dengan Presiden Sukarno yang saat itu sedang berusaha mendefinisikan kembali konsep dari sistem pendidikan nasional sebagai suatu sistem yang memberdayakan (empowering) baik itu bagi individu maupun bagi negara. Dua elemen utama tersebut adalah: (1) kemerdekaan dan (2) kemandirian. Semboyan Ki Hajar Dewantara “Tut Wuri Handayani” yang sampai saat ini telah dijadikan moto dan logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan
Teknologi Republik Indonesia pada esensinya mengandung makna untuk memberi kebebasan yang membangun dan bertanggung jawab. Semboyan ini merupakan sikap yang terkenal dalam hidup kebudayaan bangsa kita sebagai sistem “among” atau “ngemong” (dalam bahasa Jawa), yang di dalamnya mengandung pesan-pesan tentang: kemerdekaan, kesukarelaan, demokrasi, toleransi, ketertiban, kedamaian, kesesuaian dengan keadaan dan suasana, dan sebagainya yang termaktub di dalam kelima sila Pancasila sebagai dasar negara.

Di dalam konsep Merdeka Belajar juga memuat suatu upaya perubahan mindset dari teacher sentris menjadi collaboration sentris. Ini artinya, guru tidak hanya menjadi satu-satunya sumber informasi, tetapi siswa juga memiliki peran untuk melengkapi apa yang disampaikan guru melalui sumber belajar lain yang dimilikinya sehingga guru dan siswa akan bersama-sama menjadi agen perubahan (agent of change) untuk menyelesaikan masalah-masalah dalam proses pendidikan. Konsep Merdeka Belajar sendiri di dalam translasi ke dalam Bahasa Inggris pun telah mengalami “shifting”: pada awal pencanangannya, Mas Menteri cenderung menggunakan padanan kata bahasa Inggris “Freedom to Learn atau Freedom of Learning” namun sejalan dengan waktu hingga saat ini, ada peningkatan “gradasi” dari yang awalnya “freedom” menjadi “emancipated”, sehingga untuk saat ini, Merdeka Belajar lebih diterjemahkan sebagai “Emancipated Learning” karena lebih menitikberatkan pada aspek otonomi yang tidak hanya sekadar “kebebasan” saja melainkan lebih pada kemampuan untuk mandiri dalam mengambil keputusan dan/atau menentukan pilihan melalui pertimbangan yang matang sesuai dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan (tidak dipukul rata). Melalui acara webinar “A Fireside Conversation at Harvard” tanggal 4 September 2021, ada beberapa lessons learned yang penting untuk kita renungkan terkait dengan esensi dari Merdeka Belajar sebagai berikut:
1. Merdeka belajar tidak hanya memberikan kemerdekaan berpikir terhadap potensi-potensi yang ada dari setiap individu namun juga memberikan kemerdekaan kepada institusi pendidikan yang menjadi prasyarat untuk   berinovasi, untuk dapat lebih fleksibel dan saling menghormati keragaman yang ada di Indonesia dalam ruang lingkup yang luas, dan di kelas dalam ruang lingkup yg kecil.
2. Implementasi dari Merdeka Belajar diantaranya adalah:
▪ Memberikan kemerdekaan untuk kepala sekolah memutuskan sendiri melalui laporan yang transparan terkait bagaimana mengalokasikan anggaran.
▪ Memberikan kemerdekaan kepada para guru untuk memutuskan seberapa jauh, seberapa cepat, dan seberapa pelan mereka perlu mengadaptasikan kurikulum sesuai dengan kemampuan masing-masing siswanya sehingga tidak ada yang merasa “dikucilkan”, “ditinggalkan”, atau “diburuburu/dipaksa”.
▪ Memberikan kemerdekaan kepada siswa untuk memiliki beragam pilihan terkait pendidikan yang akan ditempuh.
▪ Memberikan kemerdekaan untuk mengakses informasi dari beragam sumber-sumber dan tidak hanya terbatas pada sumber tekstual saja.
▪ Memberikan kemerdekaan kepada guru dan kepala sekolah dari beban admininstrasi yang terlalu berat/kompleks sehingga dapat lebih fokus pada tugas utamanya yaitu peningkatan kualitas belajar siswa.
▪ Memberikan kemerdekaan bagi guru untuk mengakses materi-materi yang berkualitas untuk peningkatan kapasitas guru sesuai dengan waktu, ritme, dan kemampuan belajarnya sendiri-sendiri melalui berbagai pilihan platform pembelajaran elektronik/digital yang dapat memberdayakan.
▪ Yang bukan termasuk dalam esensi Merdeka Belajar adalah keseragaman,
standarisasi, dan ujian berisiko tinggi bagi siswa.

Post a Comment

Previous Post Next Post