Masalah Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Pulau Papua

Tanah Papua di ciptakan oleh TUHAN dan dikaruniakan Orang Papua secara turun temurun oleh karena itu sebelum Tanah Air Papua di temukan oleh pihak luar, sudah ada suku-suku, bangsa yang hidup dan mendiami pulau ini sejak beribu-ribu tahun lamanya sesuai rencana TUHAN Pencipta alam semesta. Bahwa ada beberapa nama yang diberikan untuk tanah air atau pulau yang didiami oleh suku-suku, bangsa Papua. Namun demikian hanya sebuah nama yang menyatu dengan jiwa raga suku-suku, bangsa kita, yaitu “PAPUA”. Nama tersebut berasal dari sebutan “Ilhas Dos Papua” yang diberikan oleh penemu pertama “Jorge de Menezes”, Gubernur Portugis di Ternate, yang mendarat di pulau Waigeo pada tahun 1526. Ini pertanda, bahwa pada saat itu Papua telah diketahui oleh pihak luar. Tetapi pada tahun – tahun selanjutnya Tanah Papua di jadikan wilayah jajahan atau imperialisme dan kolonialisme eksternal. Bahwa suku-suku bangsa Papua telah diklasifikasikan dan disatukan oleh pemuka-pemuka adat, anak-anak adat kaum intelektual dalam Kongres Rakyat Papua I pada tanggal 19 Oktober 1961 dengan sebutan sebuah nama bangsa yaitu : “BANGSA PAPUA BARAT”. Sejak itu nama Papua telah diterima, dimiliki, dan dipertahankan oleh Masyarakat Adat sampai hari ini, sebagai nama pulau dan nama bangsa Papua.

Yang menjadi wilayah adat Papua, adalah wilayah Pulau Papua yang dahulu disebut New Guinea, yang meliputi tanah air dan dari Sorong sampai Samarai dan yang dihuni oleh suku-suku yang digolongkan sebagai ras Negroid rumpun Melanesia. Wilayah Adat Papua adalah dahulu disebut West New Guinea, meliputi tanah, air, dan udara dari suku-suku di wilayah adat Sorong sampai Merauke. Secara Geografis batas-batas wilayah adat sebagaimana tersebut diatas adalah di sebelah timur merupakan batas wilayah adat suku-suku yang mendiami daerah yang berbatasan dengan wilayah adat suku-suku di Papua New Guinea; di sebelah barat berbatasan dengan Kepulauan Maluku; di sebelah utara dengan wilayah Negara Republik Palao; dan di sebelah selatan berbatasan dengan sebagian kepulauan Maluku dan Benua Australia. Wilayah adat sebagaimana dimaksud telah dibagi dalam 7 (tujuh) wilayah berdasarkan pada kesatuan sosial budaya dan letak geografi, yaitu : Wilayah I Mamta Tabi (Mamberamo – Tami di Tanah Tabi), Wilayah II Saireri, Wilayah III Doberai, Wilayah IV Bomberai, Wilayah V Anim Ha, Wilayah VI La-Pago, dan Wilayah VII Me-Pago.
Masyarakat Adat Papua adalah penduduk pribumi Papua yang terdiri dari suku-suku dan marga-marga yang mendiami wilayah adat Papua, serta orang lain yang diterima ke dalam satu marga

atau suku sesuai tradisi suku tersebut, serta tunduk dan terikat pada norma atau nilai dan tatanan adat yang dianut. Masyarakat Adat Papua mempunyai hak milik mutlak atas tanah air Papua sesuai dengan sistem kepemilikan setiap suku. Penduduk Papua terdiri dari warga Masyarakat Adat Papua dan warga non masyarakat adat Papua yang berdiam dan hidup di atas Tanah Papua. Hak dan kewajiban penduduk Papua di dalam kehidupan adat sesuai dengan norma-norma adat setiap suku bangsa Papua secara beradab dan bermartabat.

Sebagai sebuah masyarakat adat maka masyarakat Papua memiliki Otoritas Adat yang berasal dari ALLAH, TUHAN Sang Pencipta alam semesta dan segala isinya yang diwariskan melalui sejarah nenek moyang Masyarakat Adat Papua. Otoritas Adat secara tradisional dipegang dan dijalankan oleh pemimpin marga, kampung, sub suku dan suku. Otoritas Adat dijalankan berdasarkan hukum adat atau norma-norma adat yang berlaku di setiap suku. Setiap warga suku atau penduduk yang ada di wilayah Tanah Papua wajib menghargai Otoritas Adat masing-masing suku. Setiap pemimpin adat di semua tingkatan organisasi adat wajib menjalankan Otoritas Adat atau amanat adat yang di wariskan oleh nenek moyang yang melindungi dan yang menyejahterakan Masyarakat Adat dan / atau seluruh penduduk di wilayahnya. Penegakan Otoritas Masyarakat Adat Papua guna menjamin keamanan, keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan penduduk di Tanah Papua. Lembaga-lembaga adat lainya, berkewajiban menjamin penegakan Otoritas Adat. Di atas Otoritas Adat hanya ada satu Otoritas Tunggal, yaitu Otoritas ALLAH Sang Pencipta alam semesta dan isinya. Kedudukan Otoritas Adat Papua dengan otoritas bangsa lain yang ada di alam semesta ini adalah setara atau sederajat di hadapan Otoritas ALLAH.

Selain memiliki otoritas, masyarakat adat Papua juga memiliki hak-hak dasar yang merupakan seperangkat hak yang sangat mendasar dan erat hubungannya dengan kelansungan hidup (hak Hidup) masyarakat adat sebagai ciptaan TUHAN, seperti yang tertuang dalam Deklarasi Universal PBB tentang Hak Asasi Manusia yang meliputi: Hak Pribadi (personal right), Hak kelompok sosial (sosial group right), Hak sipil dan Hak politik (civil and political right), Hak mengidentifikasi diri (right of self-identification). Setiap warga masyarakat adat dan atau seluruh penduduk di Tanah Papua baik secara perorangan maupun secara kelompok dan atas nama lembaga wajib menghargai serta menjunjung tinggi hak-hak dasar Masyarakat Adat Papua atau hak-hak azasi manusia yang berlaku secara universal. Untuk mewujudkan hak-hak dasar Masyarakat Adat dapat bekerja sama secara jujur, adil dan bermartabat dengan pihak lain, sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip dan norma adat yang berlaku universal pada tatanan adat Masyarakat Adat Papua.

Sebagai bagian dari Indonesia, Tanah Papua selama ini telah menjadi target berbagai program-program pembangunan dari pemerintah pusat maupun lembaga internasional untuk membantu pemerintah daerah dalam upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan penduduknya, termasuk pembangunan kesejahteraan bagi perempuan dan anak. Upaya pembangunan oleh berbagai pihak ini dirasa oleh banyak pihak belum memberikan dampak yang berarti bagi kesejahteraan masyarakat di Papua. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan didukung melalui pemberian otonomi khusus selama ini masih sangat terasa berfokus pada pembangunan infrastruktur dan ekonomi dari pada pembangunan manusia (human development) yang tampak pada pembangunan dalam sektor pendidikan, sosial dan kebudayaan seperti yang tergambar dalam hak-hak dasar masyarakat adat seperti digambarkan di depan. Selain itu, pendekatan yang dilakukan pun lebih mengedepankan pendekatan teknokratik dari pada pendekatan budaya yang merupakan landasan dasar dari masyarakat adat Papua. Keterlibatatan masyarakat adat dalam proses pembangunan terasa terpinggirkan dan lebih didominasi peran-peran birokrasi pemerintah yang bersifat formal dalam pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adat. Sebagai akibatnya berbagai masalah mendasar terkait dengan perempuan dan anak masih menunjukkan kesenjangan yang besar misalnya pada masih tingginya angka kematian ibu dan bayi, kekuatan ekonomi perempuan yang masih lemah, representasi perempuan yang masih terbatas pada proses pengambilan kebijakan, terbatasnya pelayanan-pelayanan untuk pemenuhan hak dan perlindungan anak, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang masih tinggi dan masih adanya disparitas wilayah yang tinggi dalam tingkat kesejahteraan masyarakatnya.

Beranjak dari pemahaman tentang pentingnya untuk menyelesaikan masalah pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Tanah Papua dengan perspektif masyarakat adat, maka Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KPPPA RI) bekerja sama dengan Dewan Adat Papua (DAP) menginisiasi dan melaksanakan upaya perubahan untuk menyikapi permasalahan tersebut di tujuh wilayah adat Tanah Papua. Dewan Adat Papua (DAP) adalah lembaga representasi Masyarakat Adat Papua yang berada dan dibentuk berdasarkan otoritas adat setiap suku serta sub suku dan kampung, dalam Konferensi Besar Masyarakat Adat Papua Ke – 1 yang selanjutnya disingkat KBMAP I di Port Numbay (Kota Jayapura) dari tanggal 25 – 28 Februari 2002. Konferensi ini merupakan amanat Kongres Rakyat Papua II di Jayapura yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 2000. Kongres Rakyat Papua merupakan pertemuan besar yang menghadirkan perwakilan masyarakat adat dari suku-suku yang telah memakai nama Papua sebagai nama identitas dengan sebutan Masyarakat Adat Papua. DAP merupakan wadah identitas solidaritas dan wadah koordinatif. Untuk menata ulang status hukum hak-hak dasar kita secara damai dan demokrasi dengan berbasiskan kampung-kampung dan suku-suku, atas tanah, air, udara, dan sumber daya alam, serta potensi sumber kebudayaan. Sebagai salah satu upaya untuk mempertahankan eksistensi suku-suku, bangsa Papua demi kesejahteraan, rakyat Papua pada khususnya dan juga dapat disumbangkan bagi ketertiban dan perdamaian dunia serta Kemuliaan bagi nama TUHAN sang Pencipta Alam Semesta.

Upaya perubahan yang digagas oleh KPPPA RI dan DAP diarahkan pada perubahan pendekatan yang menempatkan masyarakat adat sebagai inisiator upaya melibatkan berbagai pihak baik pemerintah, masyarakat adat, gereja dan organisasi masyarakat sipil untuk bersinergi dalam memecahkan permasalahan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di masing-masing wilayah adat yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Diharapkan pendekatan ini dapat lebih efektif dan kontekstual dengan kondisi sosial dan budaya di masing-masing wilayah adat di Tanah Papua.
Buku ini disusun sebagai dokumentasi atas berbagai upaya yang telah dilaksanakan oleh DAP dengan dukungan dari KPPPA RI dalam melakukan perubahan atas pendekatan pengembangan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang telah dilaksanakan sejak tahun 2016. Kegiatan ini diinisiasi melalui sebuah pertemuan dengar pendapat Masyarakat Adat Papua tentang Perempuan dan Anak yang diselenggarakan di Kota Biak, 8-11 Agustus 2016. Tindak lanjut dari pertemuan ini adalah dilakukannya kegiatan untuk mendokumentasikan berbagai penelitian dan program pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang telah dilakukan di Tanah Papua dalam 10 tahun terakhir. Melalui kajian ini diharapkan bisa diketahui berbagai pemahaman tentang permasalahan dan respon atas permasalahan perempuan dan anak di Tanah Papua. Berdasarkan pemahaman tersebut, DAP kemudian mengembangkan sebuah rancangan pokok (grand design) tentang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak yang diturunkan dari visi masyarakat adat Papua tentang perempuan dan anak Papua. Rancangan pokok ini secara bertahap diwujudkan dalam rencana-rencana kegiatan yang bertujuan untuk memperkuat posisi perempuan dan perlindungan anak dalam masyarakat adat. Sebagian kegiatan yang telah ditentukan dalam rancangan pokok, kemudian disepakati untuk diinisiasi dan dilaksanakan secara bertahap di salah satu kabupaten dari masing- wilayah adat.

Sumber:
DEWAN ADAT PAPUA (DAP)
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA (KPPPA RI)
2019

Post a Comment

Previous Post Next Post